Senin, 23 Juni 2008

Bappenas Pilot Project SOP JFP - Struktural

Nampaknya ada kabar gembira buat teman-teman JFP Bappenas. Hasil rapat tgl 18 Juni 2008 mengenai mekanisme kerja fungsional dan struktural yang dipimpin Kapus Bindiklatren Dr. Avip Saefuloh menetapkan Bappenas menjadi Pilot Project. Selengkapnya sebagai berikut....

Catatan Pertemuan 18 Juni 2008, Ruang Rapat 301

  • Disepakai bahwa yang akan disusun oleh tim ini adalah “aturan main” bagi fungsional perencana di dalam organisasi pemerintah (pusat dan daerah), terutama dalam hal berhubungan dengan kolega, atasan langsung, dan kolega dan pimpinan di unit kerja/ di instansi perencanaan lain;
  • Landasan pembahasan adalah : kebijakan nasional tentang manejemen PNS dalam UU 43/1999; PP 41/2007 tentang perangkat daerah; dan Permen 005 tentang tata kerja Bappenas;
  • Pa Dida menjelaskan bahwa pelaksanaan JFP di Bappenas merupakan pelaksanaan konsep “dual track career” bagi perencana di Bappenas. Beberapa tahun yang lalu Biro SDM telah membuat keputusan Sesmen tentang pedoman internal pelaksanaan JFP, namun dinilai masih belum efektif karena kurang direspon oleh pimpinan eselon I dan II di Bappenas; Jadi upaya penyusunan mekanisme ini akan sangat bermanfaat apabila disinkronkan dengan proses perubahan permen yang mengatur tata kerja Bappenas (yang pada saat ini tengah dikerjakan Biro Ortala).
  • Pa Setiabudi Ortala, memberikan tanggapan bahwa berbagai permasalahan hubungan fungsional dan struktural ini, jangan-jangan bukan masalah struktur organisasi dan mekanisme kerja, namun masalah psikologis di antara individu perencana dengan atasan langsungnya. Hal lain, sosialisasi tentang filosofi, prinsip dan mekanisme pelaksanaan JFP terhadap pimpinan eselon I dan II di Bappenas dinilai masih kurang. Sosialisasi itu harus dilakukan terus menerus;
  • Berdasarkan diskusi tersebut, Kapusbindiklatren kembali menegaskan bahwa tujuan sebenarnya dari penyusunan mekanisme kerja ini adalah merumuskan susunan dan kedudukan (susduk) JFP di dalam organisasi instansi perencanaan;
  • Pa Asep dari perwakilan Direktorat Otonomi Daerah memberikan gambaran tentang pelaksanaan PP 41/2007. Prinsip pembentukan SKPD yang didasarkan kepada jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD sebenarnya bermaksud menerapkan prinsip ramping struktur dan kaya fungsi, namun dalam pelaksanaannya banyak pemerintah daerah yang membuat struktur organisasinya malah lebih ‘gemuk’.
  • Disepakati agar Bappenas dijadikan sebagai subjek ujicoba aturan main, sebagai bagian proses penyusunan mekanisme kerja jabatan fungsional perencana. Untuk itu, perlu didukung juga oleh evaluasi terhadap kebijakan dan kegiatan sosialisasi yang selama ini telah dilakukan di Bappenas.
  • Hasudungan dari Komisariat Bappenas mengungkapkan data yang menggambarkan adanya gap kualifikasi pendidikan di antara para jabatan struktural dan jabatan fungsional. Apabila gap tersebut masih terjadi maka fungsional perencana tetap tidak dapat bersaing dengan struktural, sehingga fungsional yang dianggap mempunyai keahlian khusus perencanaan, akan ‘kalah’ oleh struktural. Untuk itu, diusulkan agar Biro SDM dapat memberikan kesempatan pelatihan bagi fungsional.

Berdasarkan pembahasan dan hasil diskusi di atas, disepakati bahwa:

  1. Pusbindiklatren bersama dengan Biro SDM melakukan diskusi dan mereview SK Sesmen tentang pedoman internal (SOP) JFP di Bappenas, dan hasilnya disampaikan kepada seluruh anggota Tim selambat-lambatnya 2 minggu sejak tanggal 18 Juni 2008.
  2. Berdasarkan konsep tersebut, akan disusun mekanisme kerja JFP dengan menjadikan Bappenas sebagai ‘pilot-project’.***

Selasa, 17 Juni 2008

Birokrasi, Masyarakat Informasi, Remunerasi

Ketika semangat demokrasi bersemi, orang lebih bebas bicara dan teknologi informasi menggalakkan transparansi, tak ada pilihan lain bagi birokrasi pemerintah kita sekarang ini kecuali memperbaiki remunerasi. Terima kasih kepada pers yang –dengan semangat berbagi informasinya—telah membantu menekan birokrasi agar lebih cepat berubah, lebih rasional dan agar tak banyak lagi melakukan “kebohongan publik”, termasuk dalam sistem penggajian pegawainya yang tak rasional namun yang telah berurat-berakar panjang itu.

Kebanggaaan berani bergaji rendah (seperti kadang ditunjukkan lewat tameng “pengabdian PNS”) sesungguhnya tak relevan lagi dengan peran yang mesti disumbangkan oleh birokrasi dalam era keterbukaan informasi yang akan terus berkembang. Masyarakat informasi kini mengerti: di balik kepura-puraan birokrasi kita, tak ada bukti empiris di dunia bahwa gaji rendah mampu meningkatkan produktivitas, mempertahankan etos kerja yang baik, apalagi menciptakan prestasi suatu birokrasi. Tak usah bicara birokrasi Jepang atau Perancis jauh di sana, tengok saja negeri tetangga Malaysia, Muangthai dan Singapura. Apakah mereka mempertahankan sistem birokrasi bergaji rendah?

Ketidakjujuran, pembohongan kepada publik, PNS yang bermental “inferior” dan ABS (Asal Boss Senang), erosi iman dan jauh dari semangat dedicated to excellence” itulah yang berkembang ketika gaji terus ditekan rendah, sementara tantangan permasalahan negeri tumbuh sangat cepat. Indonesia mengalami keadaan ini cukup lama dan tak satu pun diuntungkan: PNS tetap miskin, kuyu dan tak berdaya (kecuali sebagian kecil yang meyimpang) sedangkan masyarakat hampir tak merasakan manfaat dari adanya birokrasi. Ada yang “beruntung” mungkin: sebagian penguasa/politisi, birokrat atau bisnismen yang tak punya orientasi jelas mengenai masa depan negeri ini, kecuali kepentingan kekuasaan atau bisnisnya sendiri.

Mestikah remunerasi (baca: Gaji) birokrasi di Indonesia sekarang diperbaiki? Mutlak perlu. Perlu segera diterapkan sistem penggajian yang lebih rasional, memperhatikan tingkat kebutuhan hidup yang layak serta pengembangan sikap profesional yang siap berkompetisi secara global, paling tidak dengan negeri tetangga. Gaji birokrat kita seharusnya –seperti diterapkan di banyak negara lain—tak punya gap yang terlalu jauh dari pihak manapun/ swasta yang diurusinya.

Keberatan serta debat yang terlalu panjang untuk menghalangi kenaikan gaji PNS akan berujung pada hanya satu muara: mempertahankan sistem birokrasi kita sekarang yang dipenuhi ketidakjujuran serta produksi macam-macam aturan (ketaatan, pengawasan melekat) yang tak punya kaitan dengan pencapaian kemajuan kecuali penciptaan pegawai yang ketakutan. Sistem gaji rendah sekarang menyuburkan korupsi, dan inilah sesungguhnya biaya mahal yang akan selalu mengerogoti kegemilangan masa depan Indonesia. Biaya yang lebih mahal dibandingkan kesediaan untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk memberi gaji yang lebih layak kepada PNS.

Setelah gaji naik, lalu apa? Wajar bila birokrasi dituntut lebih banyak. Didenda untuk kinerja yang buruk atau dimasukkan ke dalam penjara karena pelanggaran kode etik profesionalitas. Silakan siapkan berbagai sanksi, termasuk cambuk, setelah sistem remunerasi diperbaiki.

Indonesia bukanlah –mungkin seperti pernah kita bermimpi—sebuah negeri utopia dengan PNS bergaji rendah yang siap bekerja sepanjang hidupnya karena memiliki semangat “Abdi Negara.” Dalam mimpi itu, negeri utopia itu –bermodalkan kekayaan sumberdaya alam dan PNS-nya yang bergaji pas-pasan tapi bekerja penuh pengabdian-- akan tumbuh menjadi besar, kaya, hebat, berjaya …

Sekali lagi, sayangnya, tak ada bukti empiris di dunia bahwa birokrasi yang kokoh dan berwibawa akan tercipta dengan motor bernama pengabdian atau iman berlebihan saja. Sistem yang baik yang masuk akal harus dibentuk, dikembangkan. Remunerasi (gaji) yang layak merupakan elemen penting bagi berkembangnya sistem birokrasi modern yang profesional, kokoh dan berwibawa itu. Masih cukupkah alasan kita untuk mempertahankan pendapat agar birokrasi di Indonesia tetap tidak memperbaiki sistem remunerasinya?*** (Hanan Nugroho/Perencana Madya)

Senin, 16 Juni 2008

Harga minyak dilema atau masalah biasa?

Kenaikan harga minyak dunia diluar prediksi membuat banyak kalangan panik, seolah-olah tidak ada lagi jalan keluar bagi negara ini. Tetapi benarkah masalah minyak merupakan dilema buah simalakama? Jawabannya TIDAK! Semua itu tergantung batas kemampuan berpikir serta sumberdaya yang dimiliki setiap negara. Hanya saja dalam kondisi tidak stabil seperti sekarang ini faktor dominan adalah keahlian SDM. Tidak semua orang mampu berpikir kearah penyelesaian BBM, jadi memang terbatas. Disinilah diuji kejelian Pemerintah mencari SDM yang andal pada bidangnya. Masalah sumberdaya tentunya hanya dapat diselesaikan orang-orang yang belajar kebijakan sumberdaya. Sayangnya di negara ini setiap orang dapat ditempatkan dimana saja dan dimana saja dapat ditempatkan siapa saja. Seharusnya orang ditempatkan sesuai kemampuannya. Jadi masalah BBM bukan dilema karena dapat diselesaikan orang yang belajar dalam bidang kebijakan sumberdaya alam.*** (Hasudungan Sihombing/Perencana Madya)

Sertifikasi Perencana, berkah atau bencana?

Trend sertifikasi nampaknya tidak terbatas pada kalangan profesional saja tetapi saat ini dunia pemerintahan pun mulai terjangkiti. Bagaimana tidak? Dunia perencanaan yang tadinya milik kaum profesional saja kini sudah merambah ke dunia pemerintahan. Belum lagi tuntas dengan Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa yang sangat menghebohkan, kini muncul pula ide mensertifikasi Pejabat Perencana. Apalagi ini? Kalau sertifikasi barang dan jasa menghasilkan produk lembaga baru LKPP, nanti kira-kira apa ya produk sertifikasi perencana?

Senin, 09 Juni 2008

Program Desa Listrik Air (DeLA) sebagai solusi energi

Untuk mengurangi penderitaan rakyat akibat kenaikan harga BBM dan kelangkaan energi di Indonesia maka AP2I Bappenas telah menggagas Pogram Desa Listrik Air (DeLA) sebagai solusi pemenuhan energi. Program ini mengandalkan potensi sumberdaya alam di desa dan mengutamakan pemberdayaan potensi sumberdaya manusia yang selama ini belum tertangani dengan baik. Ada tiga prinsip yang diutamakan dalam program DeLA yaitu sederhana, murah dan mudah sehingga akan tercipta keberlanjutan.